Senin, 18 Juli 2011

Ariadne

Lama, terlalu lama aku tersesat dalam pikiranku sendiri. Berputar-putar dalam batas nadir mimpi-mimpi disela tidur yang insomnia dan kenyataan yang ternodai narkolepsi.

Bagaimanalah aku hendak menjelaskannya, ariadne? Aku menunggumu dan benang merah itu.
Benang merah yang kau bawa telah terlampau kusut... atau telah terjalin? Begitu indah, tapi begitu rumit... rumit tetapi indah. Seumpama proton, elektron dan neutron yang menyusun alam semesta, menari dalam harmoni

Tak ada yang tak terjelaskan oleh logika, hanya saja, bukan lagi logika manusia.

Kamis, 03 Februari 2011

Sekelumit dendam

30 Safar 1432 Hiriyah

Hampir 4 tahun lamanya, aku memelihara semacam permusuhan, sekelumit dendam yang tak kunjung dan tak bisa tuntas.
Serupa orang memelihara bayi buaya, tak dibelai-belai tak disayang-sayang, tapi diberi makan setiap hari sampai besar dan segemuk drum minyak tanah lantas melawan tuannya.

Aku bukan orang yang pendendam, samasekali bukan. Untuk apa menyimpan dendam bertahun-tahun sampai berkarat? setiap berjumpa muka terlihat masam, saat bicara penuh sindiran dan sampai-sampai saat tua dan beruban, ubannyapun kelihatan sinis?

Tapi, 4 tahun yang lalu, hanya tersisa dua pilihan buatku : Memilih untuk mendendam, atau memaafkan dan mengasihani diri sendiri. Jadi, harus bagaimana?

Aku tidak ingin mendendam, tapi lebih tidak ingin mengasihani diri sendiri. Aku harus tetap berjalan dengan kepala tegak.
Aku laki-laki, kalau cintaku memang nasibnya tak selamat, ya sudah, tapi harga diriku harus!! Kalaupun caranya adalah dengan menambah satu musuh, apa boleh buat.

Begitulah, bertahun dendam kupelihara. Dan tahukah kau kawan? dendam itu serupa komodo betina : Dia pasti akan beranak.

Dendam itu melahirkan kesepian buatku.

Selasa, 09 November 2010

Rusak segala arah

Saat saya ke warung untuk membeli beberapa bungkus mie instan sebagai “cadangan makanan darurat anak kost” saya tak sengaja mendengar sebuah dialog interaktif yang cukup seru antara, Sukriman, kribo dan beni (tiga-tiganya nama samaran) :

Sukriman (sambil menghembuskan asap rokok kretek) : Eh, tau gak sih lo? gue udah jijik banget liat polisi sekarang, gila, bentar-bentar minta duit inilah, itulah. Di perempatan sengaja banget ngumpet, ngincar2 orang yang gak pake helem. Orang masuk penjara, bisa keluar masuk seenaknya asal bayar. Buset, katanya profesional, mana buktinya?

Kribo (tidak ikut merokok, tapi ikut menimpali) : Bukan cuma polisi man, memang pemerintah kita itu udah bobrok. Anggota dewan sibuk pelesiran, mau bikin gedung baru pake duit rakyat. Pejabat anu sama itu (menyebut beberapa nama pejabat), udah jelas-jelas kena korupsi dibiarin aja. Janji palsu aja pas kampanye!

Beni (merokok, sekaligus menimpali) : Iye, bener lu berdua. Gua aja nih, jangankan pejabat-pejabat yang di tipi, yang kasusnya udah gede-gede, atasan gua di kantor aja bisa nilap duit berjuta-juta tau gak lo. MasyaAllah, gak ingat akhirat apa? Lupa kali ya? kalau mereka itu kerjanya digaji pakai uang rakyat kecil? masih aja……

Sayangnya, saya tidak mengikuti “dialog interaktif” bersama “pakar warung” tersebut sampai selesai. Tetapi dialog singkat itu sudah cukup untuk membuat saya pulang ke tempat kost sambil menahan senyum.

Saya tersenyum geli bukan karena meremehkan kapabilitas mereka bertiga untuk bicara pemerintahan, politik ataupun korupsi. Toh ini negara demokrasi, siapa saja bebas berpendapat tentang apa saja. Urusan punya ilmunya atau tidak itu urusan belakangan.

Yang membuat saya geli adalah profesi ketiga “pakar” tersebut : Sukriman adalah seorang “pengamen gajebo” di sebuah terminal di Ibukota negara ini. Biasanya nyanyi2 tak jelas, kemudian meminta uang dengan sedikit memaksa, disinyalir sekali-sekali saat bus sepi juga merangkap copet. Kribo adalah montir elekronik yang terkenal bukan karena skill, tapi karena sering me mark-up harga suku cadang televisi dan tape compo. Sementara beni adalah PNS golongan rendah yang sudah 4 tahun nyaris dilupakan oleh teman-teman sekantornya-bahkan sudah tak punya meja kerja-lantaran datang hanya sebulan sekali saat gajian.

Hmmm… bicara tentang “profesinalitas”, “kejujuran” dan “pengabdian”

Di lain kesempatan, saya yang waktu itu baru diterima jadi CPNS salah satu Kementrian di negara ini (saking barunya, saya bahkan belum mulai bekerja) bertemu dengan seorang kerabat. Setelah beberapa dialog “standar” keluarga jauh yang jarang bertemu. Tiba-tiba saja dia bertanya dengan setengah berbisik “Eh, Ndi, elo lulus CPNS di kementrian xxx gimana caranya sih?”

Dengan polos, lugu dan spontan saya jawab dengan tiga huruf : “Tes”

“Bukan ituuuuu, maksudnya, pake orang dalam gak? ato bayar berapa? sama siapa bayarnya? gitu. gua juga pengen”

Spontan saya ngakak. Bukan pertama kali saya ditanyai begini, sering malah. Saking seringnya saya pun jadi malas menjelaskan bahwa saya benar-benar lulus tes, lantaran sebelumnya banyak yang kelihatan tidak percaya dan masih terus memaksa-maksa “udah jujur aja deh”.

Mungkin muka saya tidak kelihatan seperti muka orang jujur, tipe muka saya sepertinya adalah muka yang kemana-mana akan dicurigai melakukan kecurangan dalam hal apapun yang saya lakukan. Tapi ya sudahlah, sekali lagi, ini negara demokrasi, berpendapat boleh dan sekalipun punya hak untuk membantah dan mengajukan bukti-bukti, saya malas, capek.

Saya jadi terpikir tentang Sukriman, kribo dan beni. Yang anggap saja sampel dari kelompok “orang kecil”. Dibandingkan dengan kerabat saya yang bisa dikatakan wakil dari kelompok “orang agak besar” (lantaran keluarganya berada, dan diapun pemegang titel Strata II”, dan dibandingkan juga dengan para pejabat yang tak usah dijelaskan disini karena sudah sering muncul di tivi (entah terpaksa muncul karena terjerat kasus korupsi atau sengaja muncul demi kampanye dan pencitraan). Yang bisa dianggap mewakili “orang besar”. Ternyata sampel dari ketiga kelompok ini menunjukkan sifat yang sama : Cenderung korup

Memang tidak ilmiah, kalau dengan sampel secuil itu saya kemudian menyimpulkan bahwa bangsa ini korup atas-bawah-kiri-kanan. Tetapi, kalau kita sama-sama mengamati, tabiat semacam Sukriman & Co, kerabat saya dan pejabat korup bukanlah barang langka di negara ini. Dengan mudahnya, hampir dimanapun kita bisa menemui mulai dari pengamen merangkap copet, pengasong merangkap pemeras, polisi terima suap, sarjana yang ingin menyuap agar lulus tes PNS (terbukti dari banyaknya orang tertipu pada kasus ini : http://hariansib.com/?p=6692), pengusaha-pengusaha yang malas memikirkan nasib karyawan dan hobi berkelit dari peraturan, sampai kepada pejabat-pejabat yang korup.

Ibaratnya, dalam suatu sistem makan-memakan yang keji dan tidak berperikemanusiaan, pejabat korup menjadi terlihat jelas karena merekalah yang berada di puncak piramida makanan dan makannya paling banyak.

Seorang teman saya pernah bilang (sepertinya dia mengutip, tapi saya tidak tahu darimana) “Yang salah di Indonesia itu cuma satu orang, yaitu kamu!”

Senada dengan yang dulu sering diucapkan oleh almarhumah nenek saya “Ukur pinggiran kainmu sendiri-sendiri”

Nanti dulu sibuk-sibuk mengurusi orang lain, saatnya kita semua menyibukkan diri mereparasi diri sendiri. Ada dua hal yang bisa berubah, orang lain dan diri kita. Orang lain hanya bisa kita “harapkan” berubah, tetapi diri kita sendiri bisa kita rubah. Karena itu, sambil mengharapkan dan menunggu orang lain berubah, kita juga berubah!

Minggu, 03 Oktober 2010

Satu tahun berlalu...


Sepertinya agak telat, karena ini sebaiknya ditulis tepat di 30 september. Tapi apa boleh buat, 30 september kemarin aku pulang telat karena melakukan sebuah pekerjaan yang menuntut untuk lembur : menunggui orang lembur, 1 Oktober lupa menulis karena kegirangan habis gajian, 2 Oktober sibuk mencobai mainan baru yang dibeli setelah gajian. Maka baru hari ini aku bisa menuliskan sedikit kenangan tentang 30 September yang remuk.

Bukan, bukan 30 September 1965 yang berdarah. tapi 30 September 2009 yang mencatatkan satu cerita yang akan menjadi bayangan tak terhapus dari memori.

Petang hari 30 september 2009, ketika satu gempa besar yang meluluh lantakkan kota. Melenyapkan tiga desa, menghilangkan ribuan nyawa dan sekaligus nyaris mengisolasi kota dari peradaban luar.


Gempa adalah terror sejati, ketakutan paling dalam. Jika api mengamuk kita harapkan air menjinakkannya, jika air mengamuk kita lari ke tempat yang tinggi. Tapi jika tanah yang mengamuk dia akan membawa api dan mungkin juga air turut menambah nesatapa.

Dan setelah goncangan berakhir, kota nyaris menjadi hitam dan sunyi sempurna, tidak ada listrik, tidak ada komunikasi, tidak ada aliran air PDAM, bahkan tak ada kabar dari sanak keluarga yang belum pulang sejak siang tadi.

Duhai, kalau hendak dikenang sakitnya. Biarpun tak ada keluarga dekatku yang jatuh korban, tapi alangkah hati teriris melihat pria muda yang mengais-ngais reruntuhan dengan jari-jari tangannya sendiri demi mengeluarkan jenazah anak perempuannya yang bahkan belum cukup umur untuk disebut gadis. Menyakitkan, sungguh menyakitkan melihat negeri yang dikenal begitu baik nyaris rata dengan tanah, tiga desa yang permai secara harfiah benar-benar lenyap ditelan bumi. Dan lebih menyakitkan lagi ketika para nabi Palsu naik keatas mimbar-mimbar, berbicara kepada semua orang dan menulis di blog-blog, menyambung-nyambungkan antara peristiwa, waktu kejadian dan ayat-ayat suci Al-Quran demi menarik sebuah kesimpulan "Pantas saja orang padang beroleh musibah yang berat, karena mereka begini dan begitu"

Tapi sudahlah, apapun yang sudah terjadi biarlah. Yang terpenting bukanlah mengenang-ngenang seberapa keras kita terjatuh, seberapa pahitnya yang kita kecap dan seberapa perih luka-luka kita. Tetapi berapa kuat kita bangkit? Seberapa keras usaha kita untuk kembali berdiri tegak di kaki sendiri? dan berapa jauh kita telah melangkah meninggalkan jejak yang menyakitkan itu?

Selasa, 10 Agustus 2010

Ramadhan di Rantau

Wah, besok udah masuk Ramadhan lagi. Tapi berhubung perhitungan tanggal Islam dimulai setelah maghrib, berarti secara tekhnis, sekarang sudah 1 Ramadhan. Yah, watever lah, puasanya tetap siang kok, bukan malam.

Dan belum tahu mau sahur dimana... jangankan urusan makan sahur - untuk ukuran orang yang tidurnya beda tipis sama pingsan ini - bangun sementara matahari masih berada di langitnya Alaska sono rasanya memang berat....
Jadi berharap banyak pada alarm HP yang disetel ke volume max

Alangkah indahnya tahun-tahun yang lalu, ketika urusan bangun sahur adalah urusan menunggu dibangunkan, menu sahur sudah tersedia, tak perlu keluar rumah, tak perlu pilih-pilih warung dan tak perlu berurusan dengan tukang warung yang memiliki muka berciri insomnia itu...
Hhhhhhhhh... (narik nafas, rebahan sambil termenung memandangi kelap kelip cahaya bintang dilangit - yang entah sejak kapan bisa nembus loteng...)

Ah...alangkah cepatnya waktu berlalu, "time does fly"
1 Ramadhan dua tahun lalu, adalah awal aku mulai belajar untuk berdamai dengan garis takdir yang membawaku ke Jakarta yang - jujur saja - Ibarat istri judes hasil perjodohan orang satu kampung - didatangi salah, tak didatangi tak ada pilihan.
1 Ramadhan dua tahun lalu juga awal pertamakali mencoba merangkai ulang dan menata mimpi-mimpi agar sesuai untuk Kota ini.

Kadang terasa berat, berada di kota yang walaupun sudah dua tahun berjalan masih terasa asing tambah lagi, harus hidup bersama dan bertoleransi dengan puluhan hal-hal yang tak kusukai.
Tapi aku tak bisa pergi, bukan masalah tak adanya pilihan, tapi aku memilih untuk tidak akan pergi. Demi mimpi yang baru, terpaksa mimpi yang lama tentang kehidupan yang damai dan tenang ku bungkam dulu...

Minggu, 01 Agustus 2010

Jakarta oh Jakarta


Gedung baru sedang dibangun lagi tak jauh dari tempat kost. Siang malam non stop para tukang yang datang entah darimana bekerja berganti-ganti ber tak-tok tak-tok ria. Di selingkaran pagar seng yang menutupi lokasi pembangunan dipasang Iklan memperlihatkan gambar seorang wanita cantik bergaun malam nan indah duduk santai sambil menikmati pemandangan kota pada malam hari dari ruangan apartemennya yang mewah, jari manis di tangannya yang sedang memegang gelas anggur kelihatan memakai cincin berlian.
Kesimpulan : Para tukang itu boleh saja ber tak-tok tak-tok mati-matian, tapi gedung itu nanti bukan buat mereka, karena mereka pria, karena mereka tidak cantik dan juga bukan buat istri-istri mereka, karena mereka tak mungkin sanggup membelikan istri masing-masing cincin berlian.

Ah, peduli amat aku dengan gedung dan gambar wanita cantik itu. Yang aku pikirkan sekarang adalah, kalau nanti gedug itu selesai dibangun, maka praktis kampung tempat aku menumpang hidup ini dikelilingi gedung-gedung tinggi, dan mungkin hanya menunggu waktu sampai kampung ini punah dan menyisakan hanya kompleks gedung-gedung tinggi.

Sekarang aku berpikir-pikir. Aku, yang cuma pegawai biasa, tak mungkin bisa tinggal di kawasan ini, tak mungkin juga di radius 15 Km dari daerah ini, karena harga tanah sudah mencapai tingkat yang tak logis dan sempit pula. Maka, untuk orang yang tak punya uang untuk membelikan istrinya (kalau nanti punya) cincin berlian ini, pilihannya cuma tinggal di luar kota. Kurang lebih 3 Jam MPM dari tempat ini (MPM : Macet, Padat, merayap - red).

Celakanya, aku bekerja di kawasan ini!!

Sekarang aku memang belum punya anak, jangankan anak, istri saja belum, jangankan istri, calon istri saja belum ada (duh!!). Tapi nanti kalau aku punya keluarga lengkap, maka aku bisa membayangkan tampangku sebagai salah satu para pekerja komuter khas Jakarta, yang artinya Berangkat kerja jam 5 pagi agar bisa datang jam 8 di kantor saat anak-anak masih tidur dan emaknya masih belum mandi, dan jam 5 sore buru-buru beranjak dari kantor supaya bisa sampai di rumah jam 8 malam dengan harapan anak-anak belum tidur dan emaknya belum mengantuk.

Duh!! 6 jam habis di jalan untuk bekerja 8 jam?

Sabtu, 24 Juli 2010

Blog baru, entri baru, (tanpa) ide baru

Oke, Hi all, akhirnya aku bikin blog setelah nyaris 2 tahun cuma rajin nulis-nulis plus curcol di Multiply.
Seperti tertulis di judul, sebenarnya aku tak ada ide baru apa-apa yang menyebabkan blog yang ini menjadi "layak bikin" belum ada pencerahan apapun yang menyebabkan blog ini dirasa "penting"

Lalu, buat apa bikin blog baru? Alasannya :
  1. Ada beberapa hal yang tidak bisa diungkapkan dengan bebas di Multiply. Mengingat sebagian besar temaku di Multiply juga teman yang sudah kenal ampe karatan bertahun-tahun yang lalu di dunia nyata, ampe kenal luar dalam, rasanya memalukan juga kalo membicarakan hal-hal yang agak "confidential" seperti misalnya kalo aku ingin teriak "Iya, Aku ngaku, aku memang sedang cari calon istri, tapi, di manapun aku berkomen, dengan siapapun aku bicara bukan berarti aku selalu "On Mission"" (curahan hati perjaka yang selalu mendapat komen "cie.. cie" atau "ehem.. ehem" tiap kali nulis sesuatu di wall atau mengkomen status nya anak gadis orang.)
  2. Bikin aja, gratis ini, lagian udah terlanjur bayar internet pake modem Sm**t ini.
Mengapa "Dari kesunyian kita bicara" ???
  1. Karena disini, di tempatku memang sangat sunyi. Tidak, aku tidak tinggal di gunung, bukan sunyi dari skala decibell, juga bukan dari jarangnya ada suara yang masuk ke kuping. Justru disini di Jakarta ini berisiknya Nauzubillah. Yang kumaksud sunyi adalah kalau dulu, dikampung halamanku yang jauh dimata itu ada suara bergedebuk dari rumah, paling lama 5 menit kemudian kepalanya Ibu tetangga sudah nongol di ambang jendela "Ada apa bu' ?? kenapa bu???" dan kalau Si Anu, Anak Si Itu, Suaminya si Fulanah Sakit, kabarnya akan terdengar setidaknya Radius 5 km. Sedangkan disini, di Jakarta nan ramai ini, rasanya orang bisa mati berhari-hari dalam rumanya tanpa ada tentangga yang tahu. Sunyi sekali kan?
  2. Karena sunyi bukan berarti kosong, sunyi tidak selalu hampa. Kita diam, kita tak bersuara, kita tak bicara, bukan berarti tak merasa apa-apa, bisa jadi dalam diam dada ini penuh sesak, tapi kita terbungkam diam karena beribu alasan. Karena itu, mari kita bicara dari kesunyian.
Oke deh, Bismillah, semoga blog ini setidaknya berguna dan bukan cuma bikin blog angin-anginan....